Minggu, 12 April 2015

PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN






Perkembangan kurikulum di Indonesia memiliki catatan sejarah yang cukup panjang. Perkembangan kurikulum di Indonesia dapat dilacak bahkan hingga ke zaman kemerdekaan maupun periode revolusi setelahnya. Dunia pendidikan nasional telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan maupun tehnologi, dinamika sosial politik, dsb.

Pada masa penjajahan, Belanda telah membuka pendidikan di negeri ini. Jauh sebelumnya, terdapat banyak catatan sejarah, bahwa banyak anak bangsa yang belajar di jazirah Arab maupun negeri Hadramaut yang kembali ke tanah air membuka pemondokan bagi mereka (baca: santri) yang ingin menuntut ilmu. Meskipun demikian, pada periode tersebut tak banyak yang dapat dicatat mengenai kurikulum nasional. Hal ini wajar, karena istilah kurikulum sendiri adalah istilah yang relatif  lebih belakangan muncul, karena penggunaannya secara masif di Indonesia baru terjadi di tahun 50an. Itupun merupakan kata serapan yang belum ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut tenar pada tahun 50 lantaran pada masa itu sudah banyak akademisi Indonesia yang merupakan lulusan ‘barat’.


BAB II

KERANGKA TEORI






Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan makalah ini, tentu ada baiknya jika sedikit banyak dibahas terlebih dahulu apa itu kurikulum. Hal ini secara tehnis akan membawa kita sampai kepada salah satu pokok bahasan, yaitu mengapa sampai suatu kurikulum diadakan pengembangan. Atau dalam bahasan makalah ini, apa yang menjadi landasan perkembangan kurikulum di Indonesia.

1.    Kurikulum

Kata ‘kurikulum’, merupakan kata yang relatif muda. Kata tersebut belum terdapat pada kamus Webster edisi tahun 1812. Barulah pada tahun 1856, kata tersebut dimasukkan ke kamus Webster sebagai salah satu leksikonnya. Kata tersebut didefinisikan sebagai “A course in general ; applied particulary to the course of study in a university”. Jadi pada waktu itu pengertian kurikulum baru sebatas sejumlah mata kuliah tertentu yang harus diambil pada suatu jurusan di universitas.

Seiring dengan perkembangan tehnologi maupun ilmu penge-tahuan, maka istilah kurikulum mengalami perkembangan pengertian. Sudah banyak para ahli yang memberikan pandangan mengenai apa yang kita kenal sebagai kurikulum saat ini, di antaranya adalah:

a.  J. Galen Taylor dan William M. Alexander dalam buku curriculum planning for better teaching and learning (1956), menjelaskan arti kurikulum sebagai “segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah”.

b.  Harold B. Albertycs dalam reorganizing the high school curriculum (1965), memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti halnya dengan definisi Taylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.

c.  William B Ragan, dalam buku modern elementary curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum dalam arti luas, yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak di bawah  tanggung jawab sekolah. Yang tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan sosial antara guru dan murid, metode pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.

d.  J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya secondary school improvement (1973) juga menganut definisi kurikulum yang luas, menurut mereka kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.

e.  Alice Mile juga menganut dalam bukunya changing the curriculum : a social process (1946) mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia. Definisi nya tentang kurikulum  sangat luas mencakup bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita serta norma-norma, melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh pegawai sekolah.




2.    Landasan Pengembangan Kurikulum

Kurikulum merupakan jantung pendidikan. Hal ini dikarenakan kurikulum merupakan landasan operasional kegiatan pendidikan. Kehidupan di lembaga pendidikan baik itu sekolah maupun perguruan tinggi merupakan kehidupan yang dirancang berdasarkan kurikulum. Oleh karenanya maju-mundurnya dunia pendidikan bergantung salah satunya kepada penyusunan kurikulum.

Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, bahkan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.

Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.

1.        Landasan filosofis

Filsafat berupaya mengkaji berbagai permasalahan yang dihadapai manusia,  termasuk masalah pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang, di antaranya filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan.

Lebih, ada 5 pemikiran filosofis yang menjadi acuan pakar pendidikan dalam menyusun kurikulum yaitu:

a.  Perrenialisme; yaitu pemikiran yang memfokuskan kajiannya pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.

b.  Essensialisme; yaitu pemikiran yang memfokuskan kajian pemikirannyanya pada pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.

c.  Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri.

d.  Progressivisme menekankan pada pentingnya menghormati perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.

e.  Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lebih lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Rekonstruktivisme lebih jauh mene-kankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.

Masing-masing aliran filsafat di atas memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri. Oleh karenanya, dalam praktek pengem-bangan kurikulum, para ahli cenderung mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai keunggulan tiap-tiapnya sembari merumuskan titik temu yang berwujud pada kurikulum yang sudah dikembangkan.

2.        Landasan Psikologis

Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar.

3.        Landasan Sosial-Budaya

Salah satu tugas lembaga pendidikan adalah membekali peserta didik dengan segala hal yang dibutuhkannya ketika pada akhirnya dia nanti terjun di masyarakat. Oleh karenanya lembaga pendidikan haruslah memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.

Setiap lingkungan masyarakat memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat masing-masing. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Maka menjadi tugas pendidikan untuk memperkenalkan sekaligus menanamkan nilai-nilai sosial-budaya yang positif karena peserta didik pada dasarnya lahir, tumbuh, dan menemukan jati dirinya/status sosial dirinya di masyarakat.

4.        Landasan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi harus diakui telah mengubah hidup manusia. Ilmu pengetahuan dan tehnologilah yang pada akhirnya menjadi pembeda antara satu periode dengan periode lainnya dalam babak sejarah kehidupan manusia. Sebagaimana tehnologi sederhana telah membedakan zaman logam dan zaman batu.

Dan pengaruh perkembanga ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal. Oleh karenanya, suatu kurikulum haruslah melihat perkembangan ini untuk dapat menyiapkan peserta didik yang tidak gagap terhadap kemajuan tehnologi dan informasi.




BAB III

PEMBAHASAN





Sepanjang sejarah perjalanan Negara Indonesia, dunia pendidikan nasional di negeri ini telah beberapa kali mengalami pengembangan/perubahan kurikulum. Perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi, dan informasi mau tak mau harus disikapi secara terbuka. Pun perubahan sosial, budaya, maupun arus politik termasuk pergantian menteri dan kebijakannya telah memberikan andil dalam perubahan kurikulum di Indonesia.

Semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdakaannya pada tahun 1945, tercatat setidaknya ada empat kali pergantian kurikulum (sembilan dalam versi lain). Kesemuanya akan dibahas satu persatu dalam bab ini.

1.   Kurikulum 1947 (Rentjana Pembelajaran)

Kurikulum yang lahir dua tahun setelah Kemerdekaan RI. Pada waktu itu, istilah kurikulum belumlah tenar, bahkan istilah leer plan yang merupakan Bahasa Belanda yang berarti rencana pembelajaran lebih terkenal ketimbang istilah kurikulum.

Semangat kemerdekaan maupun perang revolusi sangat terasa pada muatan kurikulum waktu itu. Oleh karenanya kurikulum 1947 sangat mengutamakan pembentukan karakter manusia yang berdaulat, anti kolonialisme, dan kesejajaran antar bangsa.

Namun demikian, sebagian ahli berpendapat bahwa kurikulum 1947 baru diaplikasikan secara sempurna pada tahun 1950. Karena pada tahun tersebutlah kurikulum 1947 menemukan bentuknya yang secara pokok terlihat pada adanya pengaturan daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya. Di samping mengutamakan pembentukan karakter materi pelajaran kurikulum ini juga dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, juga perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

2.   Kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai 1952)

Rencana Pelajaran Terurai merupakan kurikulum penyempurna kurikulum sebelumnya (Rencana Pelajaran 1947). Kurikulum 1952 telah lebih memerinci setiap mata pelajaran.

Kurukulum 1952 tetap mempertahankan segi kontekstualitas di mana materi pelajaran haruslah berhubungan dengan hal-hal setiap hari. Secara praktis, satu mata pelajaran dipegang/diajar oleh satu orang guru.

3.  Kurikulum 1964 (Rencana Pendidikan 1964)

Kurikulum 1964 adalah kurikulum pendidikan yang direlease di masa-masa terakhir pemerintahan Presiden RI yang pertama; Ir. Soekarno. Se-bagaimana yang sudah lalu, kurikulum ini pun merupakan sistem kurikulum yang dibuat untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya.

Ciri khas kurikulum 1964 adalah bahwa setiap muatan pelajaran diprogramkan untuk dapat mengembangkan apa yang disebut sebagai pancawardhana atau lima daya yaitu daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral.

4.  Kurikulum 1968 (Rencana Pendidikan 1968)

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

5.  Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.

Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

Kurikulum 1975 menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

1. Berorientasi pada tujuan.

2. Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.

3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.

4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.

5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.

6. Kurikulum 1984 (Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA))

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).

Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992.

Ciri-ciri kurikulum CBSA adalah:

1. Berorientasi pada tujuan instruksional

2. Pendekatan pembelajaran adalah berpusat pada anak didik; Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)

3. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)

4. Materi pelajaran menggunakan pendekatan spiral, semakin tinggi tingkat kelas semakin banyak materi pelajaran yang dibebankan pada peserta didik.

5. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan.

Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.

7. Kurikulum 1994

Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.

Ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai berikut:

1.  Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.

2.  Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).

3.  Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.

4.  Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.

5.  Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

6.  Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.

7.  Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.

8.  Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.

9.  Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 juga diikuti dengan kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi peru-bahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

8.  Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)

Kurikulum 2004 atau yang lebih terkenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kurikulum di mana setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa.

Ciri-ciri kurikulum 2004 adalah sebagai berikut:

1. Menekankan pd ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.

9. Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

Dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

Ciri-ciri mendasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 adalah sebagai berikut:

1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

6. Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.



BAB IV

PENUTUP




Jelaslah sudah dari paparan paragraf-paragraf sebelumnya bahwasannya kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan landasan operasional lembaga maupun dunia pendidikan. Oleh karenanya, kurikulum menentukan maju mundurnya dunia pendidikan suatu negara.

Atas dasar itu, para ahli pun menyusun kurikulum yang menjadi landasan proses kegiatan belajar mengajar baik di dalam maupun di ruang kelas, baik sasarannya tenaga kependidikan maupun peserta didik dengan memper-timbangkan banyak faktor seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, sosial budaya, dsb.

Namun, ada kalanya pergantian kurikulum bersifat politis. Dunia pendidikan nasional tidak terlepas dari hal yang demikian. Karena sejarah mencatat pergantian menteri turut berperan dalam pergantian kurikulum.

Yang terbaik adalah jika pergantian kurikulum mengikuti apa yang menjadi landasan pengembangan kurikulum sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bab II. Bahwa kurikulum perlu memperhatikan beberapa hal agar tidak menjadi teks yang terasing bagi kegiatan belajar mengajar ataupun dunia pendidikan keseluruhan.








DAFTAR PUSTAKA



Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara

Nasution. 1999. Asas – asas kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara

Syarief. A. Hamid. 1993. Pengembangan Kurikulum, Pasuruan: Bauna Indah

Sukmadinata, Nana Syaadih. 1997. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

E. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya

___________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya

Ansyar, Mohammad dan Nurtei. 1993. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Bandung : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan & Dirjen Dikti.

Karyadi, Benny dan Ibrahim. 1996. Pengembangan Inovasi dan Kurikulum Modul 1 – 6. Jakarta : Universitas Terbuka, Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudjana, Nana. 1996. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru Algerindo.

Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. 1996. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia No.XX Tahun 2003 mengena
i Sistem Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Previous Post

PPDB SDI Ummul Quro Tahun Pelajaran 2021-2022

Most Viewed