MOTIVASI KERJA
DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Lembaga pendidikan yang kita anut sekarang
ini merupakan tipikal institusi yang lahir pada era modern. Dan sebagai sebuah
institusi modern, lembaga pendidikan dewasa ini menerapkan manajemen yang telah
lebih dahulu dikembangkan dalam dunia bisnis. Sedangkan, dalam manajemen
modern, suatu organisasi dituntut untuk dapat mempraktekkan sistem secara bersih, transparan, dan profesional.
Oleh karenanya tidak heran jika manajemen
dengan sendirinya memegang posisi vital dalam penyelenggaraan pendidikan. Kehidupan
suatu lembaga tergantung dari apakah lembaga tersebut mempunyai program kerja
atau tidak. Melaksanakannya atau tidak. Manajemen yang modern (baca:
profesional) dapat menjadi instrument untuk mengarahkan suatu lembaga pada program
kerja yang rasional, terencana, terukur, dan terfokus pada suatu target yang
telah ditetapkan bersama.
Namun demikian, peran manajemen tidak
terlepas dari sumber daya manusia yang ada. Karena bagaimanapun, manusia
merupakan subjek sejati dari seluruh kerja dan karyanya. Sementara baik proses
dan hasil kerja manusia ditentukan dari motivasi ia bekerja.
Oleh karenanya, pada pertemuan kali ini,
penulis akan membahas sisi psikologis manusia dalam memposisikan dirinya pada
pekerjaannya yang dalam hal ini akan diberi tajuk : ”Motivasi Kerja dalam
Lembaga Pendidikan”.
B.
Pembahasan
Kata ‘motivasi’
merupakan kata yang lekat dan telah lebih dahulu akrab dengan dunia psikologi
ketimbang disiplin keilmuan lainnya. Namun demikian, motivasi sebagai sebagai
landasan bergerak manusia telah menjadi perhatian banyak ahli dari berbagai
disiplin keilmuan lain untuk meneliti kenapa sampai manusia melakukan sesuatu
pekerjaan. Sebagai contoh, dalam dunia kesusastraan, dikenal juga apa yang
disebut sebagai psikologi sastra. Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan
dalam menganalisis suatu karya sastra lewat karakter-karakter yang ada di
dalamnya di mana kondisi psikis mereka mempengaruhi tindakan mereka.
Motivasi
memiliki definisi dan padanan yang beragam. Banyak ahli telah bersumbangsih
dalam memberikan definisi tentang kata tersebut. Motivasi merupakan kata
serapan dari bahasa Inggris. Menurut Woodworth motivasi ialah: sesuatu yang
melingkupi semua penggerak, alasan-lasan atau dorongaan dalam diri manusia yang
menyebabkan ia berbuat sesuatu untuk mencapai tujuannya.
Banyak para
ahli psikologi menempatkan motivasi pada posisi determinan atau penentu bagi
kehidupan individual dalam rangka mencapai cita-cita. Di antaranya Hubart
Bonner menyatakan bahwa:
Motivasi adalah
secara fundamental bersifat dinamis yang melukiskan ciri-ciri tingkah laku
manusia yang terarah kepada tujuan. Maksudnya motivasi merupakan sesuatu yang
dinamis yang mendorong segala tingkah laku manusia.[1]
Motivasi
merupakan salah satu aspek untuk memahami tingkah laku manusia karena motivasi
merupakan tenaga penggerak pada jiwa untuk melakukan kegiatan. Untuk lebih
jelas mengenai pengertian motivasi berikut dikutip pendapat para ahli yang
membahas, apakah motivasi itu
Menurut
Sardiman Am, motivasi adalah
“Daya penggerak
(daya) yang telah menjadi aktif dimana ini akan menjadi aktif apabila kebutuhan untuk mencapai tujuan dirasakan
sangat mendesak.”
Menurut Dr
Singgih Dirgagunarsa:
“Motif
adalah dorongan atau kehendak menjadi yang menyebabkan timbulnya semacam
kekuatan agar seseorang berbuat atau bertindak. Dengan perkataan lain
bertingkah laku karena dilatarbelakangi oleh adanya motif, maka disebut:
tingkah laku bermotivasi”.[2]
Sedangkan
menurut WS. Winkel.S.J. MSc ss
“Motif adalah daya penggerak dari dalam dan
dalam subyek untuk melakukan akvitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu
tujuan. Motif merupakan suatu kondisi intern/ disposisi (kesiap siagaan).”[3]
Menurut Nico
Syukur Dister, motivasi ialah: Penyebab psikologi yang merupakan sumber serta
tujuan dari tindakan dan perbuatan yang dilakukan manusia.[4]
Dalam bahasa
agama, sedikit banyak kata ‘motivasi’ dapat dipadankan dengan kata ‘niat’;
suatu hal yang menjadi landasan amaliyah atau perbuatan manusia.[5]
Dari
definisi-definisi para ahli di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwasannya
motivasi merupakan sesuatu yang menggerakkan manusia kepada suatu tindakan.
Sesuatu ini pada akhirnya merupakan dorongan perbuatan. Dan dorongan itu
sendiri dapat berwujud beraneka ragam. Dorongan tersebut bisa saja berupa
sesuatu yang konkret seperti reward, upah kerja, bonus, pujian, ancaman, dsb.[6]
Berdasarkan kesimpulan
di atas tersebut, ada beberapa teori tentang motivasi dari sudut psikologi yang
dapat diimplementasikan dalam manajemen sumber daya manusia di suatu lembaga
pendidikan.
Di antara teori
tersebut ada disebut dengan ‘teori isi’ atau juga ‘content theories’. Teori-teori
dalam katergori ini membahas tentang ‘sesuatu’ yang menjadi pendorong (motivator)
seseorang dalam melakukan suatu kegiatan, termasuk sesuatu yang membuat
seseorang memilih bekerja di lembaga pendidikan ketimbang di tempat lainnya.
Teori tersebut yang terkenal di antaranya adalah:
1.
Teori Klasik
oleh Frederick W. Taylor
2.
Teori Kebutuhan
oleh Abraham Maslow
3.
Teori Dua
Faktor oleh Federick Herzberg
4.
Teori Human Relation oleh Rensis
Likert
5.
Teori Prestasi
oleh David D. McClelland
6.
dsb.
Sedangkan teori
jenis terakhir adalah teori-teori motivasi yang terfokus pada “bagaimana”
mendorong manusia agar berbuat sesuatu, termasuk juga dalam bekerja pada suatu
lembaga pendidikan. Dengan demikian teori motivasi tersebut membahas cara-cara
dan langkah-langkah dalam memberikan dorongan, sehingga dikategorikan sebagai
“teori proses”. Di antaranya adalah :
1.
Teori Penguatan
2.
Teori Harapan
3.
Teori Tujuan
sebagai Motivasi
Oleh karena itu
ada baiknya, beberapa dari teori tersebut, yang sekiranya dapat membantu kita
dalam memahami motivasi seseorang untuk bekerja di suatu lembaga pendidikan
dibahas pada makalah ini.
1.
Teori Kebutuhan
oleh Abaraham Maslow
Teori Abraham
Maslow mengemukakan bahwasannya segala perbuatan manusia dilandasi akan
kebutuhannya terhadap sesuatu. Di sini ia juga mengemukakannya adanya hirarki
ataupun tingkatan-tingkatan dalam kehidupan manusia. Tingkatan tersebut mempunyai
kekuatan yang berbeda. Tingkatan tersebut ada 5 sebagai berikut: 1. Kebutuhan
fisik, 2. Kebutuhan keselamatan atau keamanan, 3. Kebutuhan berkelompok, 4.
Kebutuhan penghormatan, 5. Kebutuhan pemuasan diri.
Kelima
tingkatan tersebut bersifat naik turun, dengan kata lain seseorang yang telah
terpenuhi kebutuhan tertingginya seperti penghormatan dan pemuasan dirinya
dapat saja melakukan suatu pekerjaan sekedar memenuhi kebutuhan fisik seperti
makan, misalnya.
Pun dalam
menjadi pekerja di lembaga pendidikan, berdasarkan teori di atas masing-masing orang
bisa saja bekerja berdasarkan
kebutuhannya masing-masing.[7]
Hal di atas
penting diketahui oleh pimpinan suatu lembaga pendidikan baik itu kepala
sekolah maupun yayasan dsb. Karena manusia itu bekerja berdasarkan motivasinya,
maka pemimpin haruslah membayar kebutuhan tersebut. Jika mereka membutuhkan
pengakuan atas kerja dan prestasinya, pemimpin harus memastikan mereka mendapat
apa yang mereka inginkan. Jika mereka bekerja berdasarkan motivasi sosial maka
pemimpin memastikan ia diterima di lingkungan kerjanya. Dsb.
Kebutuhan
manusia sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Maslow oleh karenanya dapat
diejawantahkan menjadi kebutuhan seseorang yang bekerja di lembaga pendidikan
sebagaimana dikemukakan oleh Claude S.
George Jr. sebagai berikut:
1.
Upah yang layak
2.
Kesempatan
3.
Pengakuan
sebagai individu
4.
Tempat kerja
yang baik
5.
Kepemimpinan
yang baik
6.
Pekerjaan yang
menarik dan menyenangkan
7.
Penerimaan oleh
kelompok
8.
Partisipasi.
2.
Teori Dua
Faktor oleh Federick Herzberg
Teori dua
faktor oleh Federick Herzberg mengemukakan bahwasannya motivasi seseorang dalam
melakukan sesuatu ditentukan oleh dua faktor. Dengan kata lain, motivasi
seseorang bekerja di lembaga pendidikan, juga baik dan buruknya pelaksanaan kerjanya ditentukan oleh dua
faktor. Kedua faktor tersebut adalah :
1.
Faktor yang
dapat memotivasi /mendorong (motivator). Faktor ini antara lain adalah faktor prestasi (achievement), faktor pengakuan/penghargaan, faktor
tanggungjawab, faktor memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam pekerjaan
khususnya reward dan pekerjaan itu sendiri. Faktor ini terkait dengan kebutuhan
pada tingkatan/hirarki tinggi dalam teori kebutuhan Maslow.
2.
Kebutuhan
kesehatan lingkungan sekolah (Hygiene Factors) atau yang biasa disebut sebagai
faktor syarat kerja.[8] Faktor ini dapat berbentuk hubungan antara siswa,
guru, kondisi sekolah atau lembaga pendidikan, kebijaksanaan lembaga dan proses
administrasi di lembaga tersebut. Faktor ini terkait dengan kebutuhan pada
urutan yang lebih rendah dalam teori Maslow.
Federick
Herzberg mengemukakan bahwa manajemen suatu lembaga, termasuk lembaga
pendidikan, yang kondusif tercipta dari keseimbangan 2 faktor di atas.
3.
Teori Prestasi
oleh David D. McClelland
Teori ini mengatakan
bahwa motif berprestasi juga mendasari banyak perbuatan manusia. Dengan kata
lain kebutuhan berprestasi merupakan motivasi bagi seseorang dalam bekerja pada
suatu lembaga pendidikan. Dalam hubungannya dengan teori Maslow, berarti
motivasi ini terkait dengan kebutuhan pada urutan yang tinggi, terutama
kebutuhan aktualisasi diri dan pengakuan dari orang sekitar yang bersangkutan.
Motivasi ini
adalah motivasi yang disadari dan karenanya pengejawantahannya pada lingkungan
lembaga pendidikan dapat dilakukan dengan mana Para pekerja terutama manajer/pemimpin/kepala
sekolah dan guru sebagai inti organisasi, menyukai pekerjaan dan tanggung jawab
dalam belajar mengajar, karena prestasi lahir dari komitmen mereka terhadap
pekerjaan mereka.
4.
Teori Penguatan
(Reinforcement)
Teori ini
bersifat praktis dan penting untuk diketahui para manajer lembaga pendidikan. Teori
ini mempergunakan prinsip yang disebut “Hukum Ganjaran (Law Of Effect)”. Hukum ini mengatakan bahwa suatu tingkah laku
yang mendapat ganjaran menyenangkan akan mengalami penguatan dan cenderung
untuk diulangi. Demikian pula sebaliknya suatu tingkah laku yang tidak mendapat
ganjaran, tidak akan mengalami penguatan, karena cenderung tidak diulangi,
bahkan dihindari.
Berdasarkan
uraian di atas jelas bahwa penguatan (reinforcement) pada dasarnya berarti
pengulangan kegiatan karena mendapat ganjaran. Ganjaran selain berbentuk
material, dapat pula berbentuk non material. Ganjaran dalam bentuk material
dapat saja berupa pemberian insentif. Sedangkan dalam bentuk non materi bisa
berupa pujian, penghormatan, maupun pengakuan sosial.
5.
Teori Harapan
(expectancy)
Teori ini
berpegang pada prinsip yang mengatakan “terdapat hubungan yang erat antara
pengertian seseorang mengenai suatu tingkah laku, dengan hasil yang ingin
diperolehnya sebagai harapan”. Dengan demikian berarti harapan pun merupakan
energi penggerak untuk melakukan suatu kegiatan, yang karena terarah untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan disebut “usaha”. Usaha seseorang yang bekerja
di lembaga pendidikan dengan kata lain dilandasi oleh pengharapannya akan
sesuatu.
Usaha yang
dapat dilakukan pekerja di lembaga pendidikan yang biasanya adalah guru ataupun
staf umum dan tata usaha ditentukan oleh latar belakang kejuruan/akademik
maupun jenis dan kualitas kemampuan yang dimilikinya, yang diwujudkan berupa
keterampilan/keahlian dalam belajar. Oleh karenanya seorang manajer /pemimpin
lembaga pendidikan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Manajer pendidikan haruslah mampu
menempatkan personalia/pekerja sehubungkan dengan kemampuan atau jenis dan
kualitas keterampilan yang dimilikinya.
b.
Berdasarkan pengertian itu, pemimpin
lembaga yang bersangkutan perlu membantu bagi para pekerja agar memiliki
harapan yang realistis, yang tidak berlebih-lebihan. Harapannya tidak melampaui
usaha yang dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
C.
Penutup
Dari penjelasan
di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwasannya manusia bekerja dan
bertindak berdasarkan motivasi-motivasinya. Termasuk mereka yang mengambil
keputusan bekerja pada lembaga pendidikan.
Oleh karenanya, seorang
manajer ataupun lembaga pendidikan penting untuk memperhatikan latar belakang
yang menjadi motivasi mereka yang bekerja di lembaga tersebut. Pun sedikit
banyak, ia harus mengetahui cara-cara, yang terdapat pada teori proses, untuk
menggugah motivasi mereka agar mereka dapat bekerja dengan maksimal.
[1]
Woodworth, Psikologi Suatu Pengantar kedalam Ilmu Jiwa ,Jilid III, Jemmarss, Bandung, 1977, hal 39
[2] Singgih Dirganuarsa, Pengantar
Psikologi, (Jakarta: Mutiara, 1978) hal 92
[3] WS Winkel, Psikologi
pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta: PT Gramedia, 1978) hal 27
[4] Nico Syukur Dister, Pengalaman
dan Motivasi Beragama, (Jakarta: Leppanas, 1982) hal 77-78
[5] M .Ali Usman, Hadits
Qudsi Pola Pengembangan Akhlah Muslim , (Bandung: CV Diponegoro, 1989) hal
276
[6] Drs.
Hikmat, M.Ag., Manajemen Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009)
hal. 272.
[7] Idem.,
hal 277
[8] Ibid.,
hal. 279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar