Sabtu, 04 April 2015

MOTIVASI KERJA DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN



MOTIVASI KERJA DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN




A.       Pendahuluan
Lembaga pendidikan yang kita anut sekarang ini merupakan tipikal institusi yang lahir pada era modern. Dan sebagai sebuah institusi modern, lembaga pendidikan dewasa ini menerapkan manajemen yang telah lebih dahulu dikembangkan dalam dunia bisnis. Sedangkan, dalam manajemen modern, suatu organisasi dituntut untuk dapat mempraktekkan sistem  secara bersih, transparan, dan profesional.
Oleh karenanya tidak heran jika manajemen dengan sendirinya memegang posisi vital dalam penyelenggaraan pendidikan. Kehidupan suatu lembaga tergantung dari apakah lembaga tersebut mempunyai program kerja atau tidak. Melaksanakannya atau tidak. Manajemen yang modern (baca: profesional) dapat menjadi instrument untuk mengarahkan suatu lembaga pada program kerja yang rasional, terencana, terukur, dan terfokus pada suatu target yang telah ditetapkan bersama.
Namun demikian, peran manajemen tidak terlepas dari sumber daya manusia yang ada. Karena bagaimanapun, manusia merupakan subjek sejati dari seluruh kerja dan karyanya. Sementara baik proses dan hasil kerja manusia ditentukan dari motivasi ia bekerja.
Oleh karenanya, pada pertemuan kali ini, penulis akan membahas sisi psikologis manusia dalam memposisikan dirinya pada pekerjaannya yang dalam hal ini akan diberi tajuk : ”Motivasi Kerja dalam Lembaga Pendidikan”.

B.       Pembahasan
Kata ‘motivasi’ merupakan kata yang lekat dan telah lebih dahulu akrab dengan dunia psikologi ketimbang disiplin keilmuan lainnya. Namun demikian, motivasi sebagai sebagai landasan bergerak manusia telah menjadi perhatian banyak ahli dari berbagai disiplin keilmuan lain untuk meneliti kenapa sampai manusia melakukan sesuatu pekerjaan. Sebagai contoh, dalam dunia kesusastraan, dikenal juga apa yang disebut sebagai psikologi sastra. Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan dalam menganalisis suatu karya sastra lewat karakter-karakter yang ada di dalamnya di mana kondisi psikis mereka mempengaruhi tindakan mereka.
Motivasi memiliki definisi dan padanan yang beragam. Banyak ahli telah bersumbangsih dalam memberikan definisi tentang kata tersebut. Motivasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris. Menurut Woodworth motivasi ialah: sesuatu yang melingkupi semua penggerak, alasan-lasan atau dorongaan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu untuk mencapai tujuannya.
Banyak para ahli psikologi menempatkan motivasi pada posisi determinan atau penentu bagi kehidupan individual dalam rangka mencapai cita-cita. Di antaranya Hubart Bonner menyatakan bahwa:
Motivasi adalah secara fundamental bersifat dinamis yang melukiskan ciri-ciri tingkah laku manusia yang terarah kepada tujuan. Maksudnya motivasi merupakan sesuatu yang dinamis yang mendorong segala tingkah laku manusia.[1]
Motivasi merupakan salah satu aspek untuk memahami tingkah laku manusia karena motivasi merupakan tenaga penggerak pada jiwa untuk melakukan kegiatan. Untuk lebih jelas mengenai pengertian motivasi berikut dikutip pendapat para ahli yang membahas, apakah motivasi itu
Menurut Sardiman Am, motivasi adalah
“Daya penggerak (daya) yang telah menjadi aktif dimana ini akan menjadi aktif apabila  kebutuhan untuk mencapai tujuan dirasakan sangat mendesak.”
Menurut Dr Singgih Dirgagunarsa:
“Motif adalah dorongan atau kehendak menjadi yang menyebabkan timbulnya semacam kekuatan agar seseorang berbuat atau bertindak. Dengan perkataan lain bertingkah laku karena dilatarbelakangi oleh adanya motif, maka disebut: tingkah laku bermotivasi”.[2]
Sedangkan menurut WS. Winkel.S.J. MSc ss
 “Motif adalah daya penggerak dari dalam dan dalam subyek untuk melakukan akvitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Motif merupakan suatu kondisi intern/ disposisi (kesiap siagaan).”[3]
Menurut Nico Syukur Dister, motivasi ialah: Penyebab psikologi yang merupakan sumber serta tujuan dari tindakan dan perbuatan yang dilakukan manusia.[4]
Dalam bahasa agama, sedikit banyak kata ‘motivasi’ dapat dipadankan dengan kata ‘niat’; suatu hal yang menjadi landasan amaliyah atau perbuatan manusia.[5]
Dari definisi-definisi para ahli di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwasannya motivasi merupakan sesuatu yang menggerakkan manusia kepada suatu tindakan. Sesuatu ini pada akhirnya merupakan dorongan perbuatan. Dan dorongan itu sendiri dapat berwujud beraneka ragam. Dorongan tersebut bisa saja berupa sesuatu yang konkret seperti reward, upah kerja, bonus, pujian, ancaman, dsb.[6]
Berdasarkan kesimpulan di atas tersebut, ada beberapa teori tentang motivasi dari sudut psikologi yang dapat diimplementasikan dalam manajemen sumber daya manusia di suatu lembaga pendidikan.
Di antara teori tersebut ada disebut dengan ‘teori isi’ atau juga ‘content theories’. Teori-teori dalam katergori ini membahas tentang ‘sesuatu’ yang menjadi pendorong (motivator) seseorang dalam melakukan suatu kegiatan, termasuk sesuatu yang membuat seseorang memilih bekerja di lembaga pendidikan ketimbang di tempat lainnya. Teori tersebut yang terkenal di antaranya adalah:
1.        Teori Klasik oleh Frederick W. Taylor
2.        Teori Kebutuhan oleh Abraham Maslow
3.        Teori Dua Faktor oleh Federick Herzberg
4.        Teori Human Relation  oleh Rensis Likert
5.        Teori Prestasi oleh David D. McClelland
6.        dsb.
Sedangkan teori jenis terakhir adalah teori-teori motivasi yang terfokus pada “bagaimana” mendorong manusia agar berbuat sesuatu, termasuk juga dalam bekerja pada suatu lembaga pendidikan. Dengan demikian teori motivasi tersebut membahas cara-cara dan langkah-langkah dalam memberikan dorongan, sehingga dikategorikan sebagai “teori proses”. Di antaranya adalah :
1.        Teori Penguatan
2.        Teori Harapan
3.        Teori Tujuan sebagai Motivasi
Oleh karena itu ada baiknya, beberapa dari teori tersebut, yang sekiranya dapat membantu kita dalam memahami motivasi seseorang untuk bekerja di suatu lembaga pendidikan dibahas pada makalah ini.
1.        Teori Kebutuhan oleh Abaraham Maslow
Teori Abraham Maslow mengemukakan bahwasannya segala perbuatan manusia dilandasi akan kebutuhannya terhadap sesuatu. Di sini ia juga mengemukakannya adanya hirarki ataupun tingkatan-tingkatan dalam kehidupan manusia. Tingkatan tersebut mempunyai kekuatan yang berbeda. Tingkatan tersebut ada 5 sebagai berikut: 1. Kebutuhan fisik, 2. Kebutuhan keselamatan atau keamanan, 3. Kebutuhan berkelompok, 4. Kebutuhan penghormatan, 5. Kebutuhan pemuasan diri.
Kelima tingkatan tersebut bersifat naik turun, dengan kata lain seseorang yang telah terpenuhi kebutuhan tertingginya seperti penghormatan dan pemuasan dirinya dapat saja melakukan suatu pekerjaan sekedar memenuhi kebutuhan fisik seperti makan, misalnya.
Pun dalam menjadi pekerja di lembaga pendidikan, berdasarkan teori di atas masing-masing orang bisa saja bekerja berdasarkan  kebutuhannya masing-masing.[7]
Hal di atas penting diketahui oleh pimpinan suatu lembaga pendidikan baik itu kepala sekolah maupun yayasan dsb. Karena manusia itu bekerja berdasarkan motivasinya, maka pemimpin haruslah membayar kebutuhan tersebut. Jika mereka membutuhkan pengakuan atas kerja dan prestasinya, pemimpin harus memastikan mereka mendapat apa yang mereka inginkan. Jika mereka bekerja berdasarkan motivasi sosial maka pemimpin memastikan ia diterima di lingkungan kerjanya. Dsb.
Kebutuhan manusia sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Maslow oleh karenanya dapat diejawantahkan menjadi kebutuhan seseorang yang bekerja di lembaga pendidikan sebagaimana dikemukakan  oleh Claude S. George Jr. sebagai berikut:
1.        Upah yang layak
2.        Kesempatan
3.        Pengakuan sebagai individu
4.        Tempat kerja yang baik
5.        Kepemimpinan yang baik
6.        Pekerjaan yang menarik dan menyenangkan
7.        Penerimaan oleh kelompok
8.        Partisipasi.

2.        Teori Dua Faktor oleh Federick Herzberg
Teori dua faktor oleh Federick Herzberg mengemukakan bahwasannya motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu ditentukan oleh dua faktor. Dengan kata lain, motivasi seseorang bekerja di lembaga pendidikan, juga baik dan buruknya  pelaksanaan kerjanya ditentukan oleh dua faktor. Kedua faktor tersebut adalah :
1.        Faktor yang dapat memotivasi /mendorong (motivator). Faktor ini antara lain adalah faktor prestasi (achievement), faktor pengakuan/penghargaan, faktor tanggungjawab, faktor memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam pekerjaan khususnya reward dan pekerjaan itu sendiri. Faktor ini terkait dengan kebutuhan pada tingkatan/hirarki tinggi dalam teori kebutuhan Maslow.
2.        Kebutuhan kesehatan lingkungan sekolah (Hygiene Factors) atau yang biasa disebut sebagai faktor syarat kerja.[8] Faktor ini dapat berbentuk hubungan antara siswa, guru, kondisi sekolah atau lembaga pendidikan, kebijaksanaan lembaga dan proses administrasi di lembaga tersebut. Faktor ini terkait dengan kebutuhan pada urutan yang lebih rendah dalam teori Maslow.
Federick Herzberg mengemukakan bahwa manajemen suatu lembaga, termasuk lembaga pendidikan, yang kondusif tercipta dari keseimbangan 2 faktor di atas.

3.        Teori Prestasi oleh David D. McClelland
Teori ini mengatakan bahwa motif berprestasi juga mendasari banyak perbuatan manusia. Dengan kata lain kebutuhan berprestasi merupakan motivasi bagi seseorang dalam bekerja pada suatu lembaga pendidikan. Dalam hubungannya dengan teori Maslow, berarti motivasi ini terkait dengan kebutuhan pada urutan yang tinggi, terutama kebutuhan aktualisasi diri dan pengakuan dari orang sekitar yang bersangkutan.
Motivasi ini adalah motivasi yang disadari dan karenanya pengejawantahannya pada lingkungan lembaga pendidikan dapat dilakukan dengan mana Para pekerja terutama manajer/pemimpin/kepala sekolah dan guru sebagai inti organisasi, menyukai pekerjaan dan tanggung jawab dalam belajar mengajar, karena prestasi lahir dari komitmen mereka terhadap pekerjaan mereka.

4.        Teori Penguatan (Reinforcement)
Teori ini bersifat praktis dan penting untuk diketahui para manajer lembaga pendidikan. Teori ini mempergunakan prinsip yang disebut “Hukum Ganjaran (Law Of Effect)”. Hukum ini mengatakan bahwa suatu tingkah laku yang mendapat ganjaran menyenangkan akan mengalami penguatan dan cenderung untuk diulangi. Demikian pula sebaliknya suatu tingkah laku yang tidak mendapat ganjaran, tidak akan mengalami penguatan, karena cenderung tidak diulangi, bahkan dihindari.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa penguatan (reinforcement) pada dasarnya berarti pengulangan kegiatan karena mendapat ganjaran. Ganjaran selain berbentuk material, dapat pula berbentuk non material. Ganjaran dalam bentuk material dapat saja berupa pemberian insentif. Sedangkan dalam bentuk non materi bisa berupa pujian, penghormatan, maupun pengakuan sosial.

5.        Teori Harapan (expectancy)
Teori ini berpegang pada prinsip yang mengatakan “terdapat hubungan yang erat antara pengertian seseorang mengenai suatu tingkah laku, dengan hasil yang ingin diperolehnya sebagai harapan”. Dengan demikian berarti harapan pun merupakan energi penggerak untuk melakukan suatu kegiatan, yang karena terarah untuk mencapai sesuatu yang diinginkan disebut “usaha”. Usaha seseorang yang bekerja di lembaga pendidikan dengan kata lain dilandasi oleh pengharapannya akan sesuatu.
Usaha yang dapat dilakukan pekerja di lembaga pendidikan yang biasanya adalah guru ataupun staf umum dan tata usaha ditentukan oleh latar belakang kejuruan/akademik maupun jenis dan kualitas kemampuan yang dimilikinya, yang diwujudkan berupa keterampilan/keahlian dalam belajar. Oleh karenanya seorang manajer /pemimpin lembaga pendidikan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.        Manajer pendidikan haruslah mampu menempatkan personalia/pekerja sehubungkan dengan kemampuan atau jenis dan kualitas keterampilan yang dimilikinya.
b.        Berdasarkan pengertian itu, pemimpin lembaga yang bersangkutan perlu membantu bagi para pekerja agar memiliki harapan yang realistis, yang tidak berlebih-lebihan. Harapannya tidak melampaui usaha yang dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

C.       Penutup
Dari penjelasan di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwasannya manusia bekerja dan bertindak berdasarkan motivasi-motivasinya. Termasuk mereka yang mengambil keputusan bekerja pada lembaga pendidikan.
Oleh karenanya, seorang manajer ataupun lembaga pendidikan penting untuk memperhatikan latar belakang yang menjadi motivasi mereka yang bekerja di lembaga tersebut. Pun sedikit banyak, ia harus mengetahui cara-cara, yang terdapat pada teori proses, untuk menggugah motivasi mereka agar mereka dapat bekerja dengan maksimal.


[1] Woodworth, Psikologi Suatu Pengantar kedalam Ilmu Jiwa ,Jilid III,  Jemmarss, Bandung, 1977, hal 39
[2] Singgih Dirganuarsa, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Mutiara, 1978) hal 92
[3] WS Winkel, Psikologi pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta: PT Gramedia, 1978) hal 27
[4] Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Jakarta: Leppanas, 1982) hal 77-78
[5] M .Ali Usman, Hadits Qudsi Pola Pengembangan Akhlah Muslim , (Bandung: CV Diponegoro, 1989) hal 276
[6] Drs. Hikmat, M.Ag., Manajemen Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009) hal. 272.
[7] Idem., hal 277
[8] Ibid., hal. 279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Previous Post

PPDB SDI Ummul Quro Tahun Pelajaran 2021-2022

Most Viewed